Sabtu, 28 Mei 2011

Sekolah Gratis Setengah Hati


Gratis, tapi buku harus beliDengan alasan keterbatasan dana, orangtua murid masih harus mengeluarkan dana ratusan ribu rupiah untuk membeli buku wajib.
Seorang ibu yang anak pertamanya duduk di kelas empat SD mengeluh, karena biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli buku wajib di sekolah sang anak. Tak tanggung-tanggung, uang yang harus dikeluarkannya itu sampai ratusan ribu.

Banyak orangtua murid di Jakarta memiliki keluhan yang sama. Rata-rata mereka mengeluarkan uang untuk membeli buku antara Rp 300 ribu sampai Rp 500 ribu rupiah. Seperti dilaporkan harian Pelita, 15 Februari 2005,  SMP 33 Manggarai, Jakarta Selatan memungut uang buku Rp 500 ribu untuk satu tahun. Alasan yang sama juga dipakai SD 07 Bukit Duri, Jakarta Selatan yang memungut uang buku Rp 400 ribu.
Meski pungutan uang buku itu sudah menjadi hal yang seringkali terjadi, mestinya tahun ini hal itu sudah tidak terjadi lagi di setiap SD dan SMP negeri di DKI Jakarta. Pemprov DKI sudah menyiapkan Rp 500 miliar untuk menyubsidi biaya operasional SD dan SMP negeri sehingga seluruh siswa dibebaskan dari biaya maupun iuran dalam bentuk apapun.
Tak heran, dengan adanya kasus-kasus pungutan untuk buku di beberapa sekolah, sekolah gratis yang dijanjikan Pemprov dianggap masih setengah hati dan terancam gagal.
Kepala Dinas Pendidikan Dasar, Sylviana Murni menyatakan, kasus-kasus seperti yang terjadi pada SD 07 Bukit Duri dan SMP 33 Manggarai itu merupakan pelanggaran. Sebab, kedua sekolah itu tidak termasuk kategori sekolah percontohan koalisi atau sekolah standar nasional yang mendapat dispensasi untuk menerima sumbangan dari orangtua murid, karena biaya operasionalnya lebih besar.
Anehnya, alokasi dana pengadaan buku per tahun untuk siswa tidak merata. Dengan alasan dana masih terbatas, dana pengadaan buku terpaksa bergiliran beberapa kelas. Untuk Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) 2005, dana pengadaan buku untuk siswa kelas 1, 4 dan 7 (1 SMP). APBD 2006, dilanjutkan untuk siswa kelas 2, 5 dan 8 (2 SMP). Tahun 2007, baru untuk 3, 6 dan 9 (3 SMP).
Untuk kelas-kelas yang belum mendapat dana, sekolah dilarang mengoordinir pembelian buku secara langsung maupun lewat koperasi sekolah. Sementara untuk sekolah yang sudah mendapatkan dana pengadaan buku, buku tersebut menjadi milik sekolah. Siswa hanya meminjam.
Harian Pelita tampaknya cukup concern terhadap masalah ini. Di edisi 17 Februari 2006, harian ini menurunkan berita bahwa Pemprov DKI tetap akan menjalankan program sekolah gratis, meski APBD DKI Jakarta 2006 ditolak Menteri Dalam Negeri. APBD sebesar Rp 17, 9 triliun itu mencakup program sekolah gratis dan tunjangan kesejahteraan guru sebesar Rp 2 juta per bulan.
Sudah Waktunya
Sudah lebih dari dua puluh tahun, tepatnya sejak tahun 1984, pemerintah mendengungkan kampanye wajib belajar. Wajib belajar terutama berimplikasi terhadap pembebasan biaya pendidikan sebagai bentuk tanggung jawab negara. Di berbagai negara yang mewajibkan warganya menempuh pendidikan dasar sembilan tahun, semua rintangan yang menghalangi anak menempuh pendidikan bermutu dihilangkan. Termasuk dalam hal pendanaan pendidikan.
Kebijakan pemerintah mengalokasikan dana kompensasi subsidi bahan bakar minyak (BBM) untuk bantuan operasional sekolah lebih maju dari kebijakan pemberian beasiswa untuk siswa miskin pada masa-masa sebelumnya. Akan tetapi, kebijakan yang ditempuh pemerintah dinilai masih belum serius dan setengah-setengah sehingga tidak bisa menjamin siswa dari keluarga miskin dapat memperoleh pendidikan dasar secara gratis.
Menurut Sekretaris Koalisi Pendidikan Ade Irawan, seperti ditulis harian Kompas, sebenarnya DKI Jakarta merupakan contoh yang baik sebagai acuan pelaksanaan sekolah gratis. Selama tiga tahun terakhir, Pemprov DKI Jakarta menyalurkan block grant untuk biaya operasional, buku perpustakaan, tambahan kesejahteraan guru, dan lain-lainnya yang diserahkan langsung kepada sekolah. Akan tetapi, kenyataannya pungutan-pungutan kepada siswa terus saja berlangsung.
Kebijakan pendidikan gratis yang setengah-setengah ini, menurut Ade, akan mengakibatkan tidak ada jaminan bagi semua anak pada usia wajib belajar dapat bersekolah tanpa ada kesulitan pembiayaan. Akibatnya, target penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun pada 2008 yang beberapa kali ditunda kemungkinan besar akan gagal kembali.

0 komentar:

Posting Komentar